Sering terdengar istilah harta gono gini ketika ada perceraian antara suami dan istri, yaitu harta hasil usaha dari suami dan istri. Bagaimana ulama’ memandang Harta gono gini?
Hukum pembagian harta gono-gini Hukumnya boleh, seperti diterangkan dalam Hamisy kitab Syarqawi:
(فَرْعٌ) اِذَا حَصَلَ اِشْتِرَاكٌ فِيْ لَمَّةٍ ....اِنْ كَانَ لِكُلِّ
مَتَاعٌ اَوْ لَمْ يَكَنْ لِاَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَاكْتِسَبَا فَاِنْ تَمَيَّزَ فَلِكُلٍّ
كَسْبُهُ وَاِلَّا اِصْطَلَحَا فَاِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكٍ اَحَدِهِمَا مِنْ
هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَلِلْبَاقِيْنَ الْاُجْرَةُ وَلَوْ بِالْغَبْنِ
لِوُجُوْدِ الاِشْتِرَاكِ[1]
Jika pernah
terjadi persekutuan dalam sejumlah harta atau salah satunya (suami istri) tidak
punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan
(harta suami istri) maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan
usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika terjadi perkembangan
pada harta milik salah satu dari keduanya, maka semua harta menjadi miliknya
dan pihak lain berhak mendapatkan upah, meskipun terjadi kerugian, karena
adanya persekutuan.
NB: Keputusan
Muktamar NU Ke-1 di Surabaya tanggal 21 Oktober 1926 M.
[1]
Musthafa al-Dzahabi, Taqrir
Musthafa al-Dzahabi, dalam Hasyiyah al-Syarqawi, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 1226 H), Jilid II, hlm. 109.
0 komentar:
Posting Komentar