Just another free Blogger theme

Pengelola

Foto saya
Brebes, Jawa Tengah, Indonesia
Sugiharto, S.Pd.I, M.Pd. Lahir di Pati Jawa Tengah. 19 September 1990. Menempuh pendiidkan Mulia dari RA. Masyithah (1997), SD Kertomulyo II (2003), MI Miftahul Huda (sore 2004), MTs Raudltul Ulum (2007), MA Raudltul Ulum (2010) semuanya berada di Pati Jawa Tengah. Kemudian melanjutkan Pregram sarjana di STIT Al-Fattah siman Lamongan Jurusan PAI Lulus Tahun 2014. Tidak sampai disitu kemudian mengambil Program Magister di UIN Sunan Kali Jaga Fakultas Tarbiyah lulus 2019. Sekarang Mengabdikan diri di MAN 1 Brebes

Sabtu, 31 Desember 2022

Sering muncul pertanyaan di masyarakat terkait kebolehan menjual kulit hewan Qurban. Praktiknya, setelah hewan qurban disembelih, kulitnya tidak ada yang mengurusi akhirnya dijual dari pada mubadzir.

Bagaimana pendapat ulama tentang menjual kulit hewan Qurban?

Menjual kulit-kulit hewan Qurban tidak diperbolehkan kecuali oleh mustahiqnya (orang yang berhak atas pembagian hewan kurban) yang statusnya fakir atau miskin. Sedangkan bagi mustahiq yang kaya, menurut pendapat yang mu;tamad tidak diperbolehkan.

Sumber:

Ø  Kitab Mauhibah Dzi al-Fadl

(وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُ شَيْءٍ) اَىْ اُضْحِيَّةِ التَّطَوُّعِ وَلَوْ جُلُوْدَهَا لِخَبَرِ مَنْ بَاعَ جِلْدَ اُضْحِيّةٍ فَلَا اُضْحِيَّةَ لَهُ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ)[1]

Tidak boleh menjual apapun dari hewan qurban sunnah mesti hanya kulitnya, sesuai dengan hadis: barang siapa yang menjual kulit hewan kurban, makai a tidak memperoleh (pahala) kurban apapun.

 

Ø  Kitab Bughyah al-Mustarsyidin

وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلِمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ بِخِلَافِ الْغَنِيِّ[2]

 

Bagi orang fakir yang mengambil bagian hewan kurban, makai a berhak mengelola, walaupun dengan menjualnya pada oeng islam, karena ia telah memiliki apa yang telah diberikan kepadanya. Berbeda jika yang mengambil tersebut dari golongan orang kaya.

 


NB: Keputusan Munas Alim Ulama di Sukorejo Situbondo Pada Tanggal 18-21 Desember 1983



[1] Mahfudz al-Termasi, Mauhibah Dzi al-Fadl, (Mesir: Al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Jilid IV, Hlm. 697.

[2] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsytidin, (Indonesia: al-Haramain,t.th), hlm. 258.

Sering terdengar istilah harta gono gini ketika ada perceraian antara suami dan istri, yaitu harta hasil usaha dari suami dan istri. Bagaimana ulama’ memandang  Harta gono gini?

Hukum pembagian harta gono-gini Hukumnya boleh, seperti diterangkan dalam Hamisy kitab Syarqawi:

(فَرْعٌ) اِذَا حَصَلَ اِشْتِرَاكٌ فِيْ لَمَّةٍ ....اِنْ كَانَ لِكُلِّ مَتَاعٌ اَوْ لَمْ يَكَنْ لِاَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَاكْتِسَبَا فَاِنْ تَمَيَّزَ فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ وَاِلَّا اِصْطَلَحَا فَاِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكٍ اَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَلِلْبَاقِيْنَ الْاُجْرَةُ وَلَوْ بِالْغَبْنِ لِوُجُوْدِ الاِشْتِرَاكِ[1]

Jika pernah terjadi persekutuan dalam sejumlah harta atau salah satunya (suami istri) tidak punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan (harta suami istri) maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika terjadi perkembangan pada harta milik salah satu dari keduanya, maka semua harta menjadi miliknya dan pihak lain berhak mendapatkan upah, meskipun terjadi kerugian, karena adanya persekutuan.  

 

NB: Keputusan Muktamar NU Ke-1 di Surabaya tanggal 21 Oktober 1926 M.



[1] Musthafa al-Dzahabi, Taqrir Musthafa al-Dzahabi, dalam Hasyiyah al-Syarqawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1226 H), Jilid II, hlm. 109.